JAKARTA- Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI kembali melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum Masa Sidang 2021-2022, Rabu (17/11/2021).
Agenda tersebut dihadiri Pimpinan dan Anggota BULD DPD RI serta beberapa narasumber yang berasal dari kalangan akademisi maupun birokrasi, secara luring maupun virtual.
Anggota Komite III yang juga sebagai Pimpinan PURT DPD RI asal Kalimantan Utara (Kaltara) Hasan Basri turut menyampaikan pandangannya.
Hasan Basri menilai harmonisasi regulasi membutuhkan penyatuan dan kesamaan persepsi dalam membaca butiran pasal Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Ibarat musik, harmoni hanya akan tercapai melalui kerja sama yang baik serta padu antara dirigen dan pemusik dalam menyajikan karya seninya.
“Kita mengetahui, Perda selain sebagai jenis peraturan perundang–undangan yang berada pada level terbawah, juga sebagai instrumen pelaksana dari ketentuan UU di atasnya. Pola hubungan antara subtansi UU Cipta Kerja dengan Perda merupakan pola yang simetris dan selaras,” ujar Hasan Basri.
“Karena Perda merupakan bagian dari sistem hukum dan sistem norma hukum maka selayaknya Perda harus dapat mencerminkan satu kekuatan hukum yang selaras dengan peraturan perundang-undangan lainnya,” tegasnya.
Alumni Magister Hukum Universitas Borneo Tarakan ini berpendapat kedudukan daerah sebagai wilayah hukum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membutuhkan produk hukum yang juga selaras dengan UU di atasnya dalam rangka menjalankan otonomi daerah
Tidak dapat disangkal dalam tataran sistem regulasi Perda merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan dan penataan pemerintah daerah dalam hal mengatur setiap lini dan sektor yang menjadi wewenang pemerintah daerah.
Dengan adanya Perda akan memberikan legalitas hukum yang kuat bagi pemerintah daerah untuk bertindak dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah guna mencapai tujuan untuk mensejahterakan rakyat.
“Oleh karena itu, substansi Perda menjadi hal penting mengingat kedudukan Perda dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga sangat penting dan strategis. Dalam upaya menghadirkan Perda yang harmoni dan selaras dalam bingkai sistem hukum maka dibutuhkan metode Omnibus law yang dipandang mampu menghadirkan efektifitas dan efisiensi pembentukan perda,” jelasnya.
Hasan Basri menilai penerapan Omnibus Law pada pembentukan Perda dapat dilakukan terhadap materi muatan Perda yang mempunyai hubungan dan dapat disatukan dalam satu perda.
“Delegasi dari PUU yang lebih tinggi dapat dibentuk dalam satu perda saja, tidak harus dibentuk dengan beberapa perda sesuai dengan jumlah delegasinya. Karena pada dasarnya materi muatan yang didelegasikan dari satu PUU pasti mempunyai materi muatan yang berhubungan satu sama lain,” ujar HB.
Pria dengan julukan HB ini menilai salah satu materi muatan Perda yang dapat diterapkan metode Omnibus Law adalah terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di mana, dalam praktiknya pembentukan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam beberapa Perda sesuai dengan jenis pajak daerah dan retribusi daerahnya.
Dengan menggunakan metode Omnibus Law ini, maka cukup dibentuk satu Perda tentang pajak daerah dan Perda tentang retribusi daerah yang mencakup semua jenis pajak daerah dan retribusi daerah.
“Metode Omnibus Law dapat juga diterapkan dalam pembentukan Perda sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan pemda. Sehingga dalam pembentukannya, cukup satu perda yang dibentuk untuk mengimplementasikan kewenangan pemda,” ujar Hasan Basri.
Lebih lanjut ia juga menilai tujuan dari pengharmonisasian ini adalah untuk menyelaraskan peraturan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.
“Maksud dari pengharmonisasian ini sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping), hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundang-undangan,” tutup HB
Sementara itu, Audit Murfi selaku Sekretaris Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam pemaparannya menyampaikan deregulasi melalui UU Cipta Kerja merupakan langkah nyata dalam melakukan harmonisasi regulasi.
Adanya UU Cipta Kerja diharapkan mampu mengatasi hiper-regulasi yang mengganggu iklim investasi yang idealnya kondusif. Sebagai tindak lanjut, sejumlah peraturan turunan, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres), diterbitkan pasca beleid ini sah.
“Berdasarkan hasil beberapa riset menunjukkan bahwa 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang telah disahkan memuat 466 materi ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan delegasi lainnya. Belum lagi amanat adaptasi regulasi turunan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan demikian, potensi tumpang tindih dan obesitas regulasi berpotensi kembali terjadi apabila tidak ada orkestrasi harmonisasi pada proses legal drafting,” ujarnya.
“Harmonisasi Legislasi Pusat dan Daerah setidaknya terbagi menjadi dua proses, Pertama, ex ante dilakukan pada saat proses penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang/perda dan Kedua, ex post dilakukan setelah undang-undang/perda ditetapkan atau sudah berlaku/dilaksanakan,” kata Audit Murfi. (Tim HB)
Discussion about this post