Oleh: Subono Samsudi
Saya pertama kali melihat tempat pembuangan akhir (TPA) di luar negeri adalah di Tasmania,Australia pada tahun 1992. Saya terkesan bukan hanya karena kebersihannya dan tata kelolanya yang efisien, tetapi juga karena TPA tersebut bisa menghasilkan keuntungan.
Pengelola menyampaikan bahwa siapa pun yang membuang sampah harus membayar biaya masuk (tipping fee). Sebaliknya, barang-barang bekas yang masih berguna-seperti perabot, alat rumah tangga, atau sepeda-disortir dan dijual kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, orang buang bayar, orang ambil juga bayar.Ini menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang sederhana namun efektif.
Di luar area TPA, saya juga melihat ada fasilitas pengomposan untuk sampah organik,meski saya tidak ingat pasti apakah itu bagian dari manajemen yang sama atau entitas terpisah.Yang jelas, saya tidak melihat langsung pemanfaatan gas metana dari sampah, seperti yang umum digunakan di TPA negara maju lainnya.
Sebagai orang yang pernah menjabat Kepala Dinas DKPP Kota Tarakan pada 2010-2012-sebelum merger menjadi DLH-saya pernah merasakan langsung peliknya persoalan TPA.Tarakan saat itu memiliki TPA lama yang sistemnya masih open dumping, tidak memiliki sistem pemilahan, tidak ada pemulihan energi, dan lebih mirip kubangan sampah daripada infrastruktur pelayanan publik.
Masalah utamanya bukan sekadar teknis. TPA lama sudah kelebihan kapasitas, dan ironisnya, lokasinya berdampingan dengan fasilitas-fasilitas penting: sekolah, rumah sakit,bandara, hingga kawasan permukiman. Bau, pencemaran air lindi, dan gangguan visual jadi konsekuensi sehari-hari.
Kini, Tarakan sudah memiliki TPA baru di kawasan Juata Kerikil. Sebuah langkah strategis yang patut diapresiasi. Bahkan lebih dari itu, 20 kelurahan kini telah memiliki TPS 3R-Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle-yang menjadi tumpuan penting dalam sistem pengelolaan sampah berwawasan lingkungan.
Namun saya melihat, tanpa penegakan hukum dan pengawasan yang kuat-sebagaimana yang saya ungkap dalam tulisan saya sebelumnya soal gerakan Sikebal (Aksi Kebersihan Pantai Amal)-TPS 3R tidak akan optimal, dan TPA baru akan berakhir sama seperti pendahulunya.
Belajar dari Tasmania dan negara-negara seperti Swedia, ada prinsip yang patut kita adopsi: sampah bukan semata masalah, tapi potensi sumber daya. Di Swedia, pengelolaan sampah sedemikian efisien hingga mereka harus mengimpor sampah dari negara lain seperti Inggris dan Italia. Mengapa? Karena insinerator mereka kekurangan bahan bakar!
Sampah non-daur ulang dibakar dalam pembangkit listrik tenaga sampah (waste-to-energy) untuk menghasilkan panas dan listrik yang dialirkan ke ribuan rumah penduduk.Sementara sisa logam dan abu insinerasi dimanfaatkan kembali dalam sektor konstruksi.Tingkat pembuangan ke landfill nyaris nol.
Model Tasmania tak semegah Swedia, tetapi tetap mengesankan. Mereka memadukan sistem tipping fee,pemilahan dan penjualan barang layak pakai, serta pengelolaan berbasis efisiensi ala korporasi. Pendapatan dikelola transparan, digunakan untuk peningkatan sistem, bukan menunggu dana hibah atau subsidi.
Saya juga pernah mengunjungi Bavaria, Jerman pada tahun 2006 dan menyaksikan sendiri bagaimana sistem 3R dijalankan secara disiplin, serta penerapan teknologi waste-to-energy yang canggih. Pada 2011, ketika menjabat Kepala DKPP, saya berkunjung ke Kitakyushu,Jepang, dan menyaksikan pusat industri daur ulang kota tersebut-yang menghubungkan industri, masyarakat, dan pemerintah kota secara sistematis.
Kembali ke Indonesia-dan Tarakan secara khusus-saya kira sudah saatnya kita mengubah paradigma. TPA tidak boleh lagi dipandang sebagai “lubang sampah akhir”semata, tapi sebagai salah satu unit bisnis lingkungan,yang bisa dikelola secara profesional dan bahkan mendatangkan pendapatan.
Bagaimana caranya?
Pertama, perlu ada kelembagaan yang mendukung: misalnya pembentukan BLUD TPA (Badan Layanan Umum Daerah) agar pengelolaan lebih fleksibel dan akuntabel.
Kedua,TPS 3R harus difungsikan dengan benar, bukan sekadar proyek percontohan atau simbol pembangunan. Butuh operator, peralatan sederhana, sistem insentif, dan edukasi masyarakat.
Ketiga,law enforcement wajib ditegakkan: pembuangan liar, ketidakpatuhan terhadap jadwal angkut, hingga pelanggaran sektor komersial harus ditindak. Kita tidak bisa bicara
pengelolaan modern kalau aspek hukum dikesampingkan.
Keempat,harus ada keterbukaan untuk bekerjasama dengan pihak swasta,selama prinsipnya jelas: keuntungan bersama, transparansi publik, dan keberlanjutan lingkungan.
Pengelolaan sampah tak bisa hanya mengandalkan kampanye dan gotong royong.Ia butuh sistem.Butuh keberanian mengambil keputusan yang tidak populer, dan butuh waktu menata agar masyarakat ikut merasa memiliki sistem tersebut.
Saya percaya Tarakan memiliki potensi menjadi contoh di wilayah timur Indonesia. Kota ini punya sejarah melawan praktik tambang yang tidak berwawasan lingkungan, punya gerakan masyarakat sipil yang aktif, dan punya peluang geografis untuk menjadi pusat inovasi hijau.
Saya teringat kembali pada perjalanan saya di Tasmania. Di sana, TPA tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi menjadi bagian dari solusi energi, efisiensi fiskal, dan ketahanan kota. Semoga satu hari nanti, kita bisa berkata hal yang sama tentang TPA di Tarakan-dan di kota-kota lain di Indonesia. (*)
Penulis adalah Ketua Komunitas Mantap Indonesia, mantan Kepala DKPP Tarakan 2010-2012)
Discussion about this post