Oleh: Subono Samsudi
Filosofi dasar cukai sangat jelas: menjadi instrumen negara untuk mengendalikan konsumsi barang yang merusak kesehatan atau lingkungan, sekaligus mengompensasi biaya eksternalitas yang ditimbulkannya. Dalam teori kebijakan publik, sin tax seperti cukai rokok semestinya menekan jumlah perokok melalui mekanisme harga. Namun, kenyataannya di Indonesia tidak sesederhana itu.
Setiap kali tarif cukai rokok dinaikkan, produksi rokok legal memang cenderung menurun. Akan tetapi, konsumsi rokok secara nasional tidak ikut turun secara signifikan. Penyebab utamanya bukan perlawanan konsumen terhadap harga, melainkan peralihan konsumsi ke rokok ilegal yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Fenomena ini bukan kebetulan. Ia merupakan hasil dari rangkaian kelemahan struktural: pengawasan yang longgar, penegakan hukum yang lemah, dan celah regulasi yang dimanfaatkan oleh pelaku pasar gelap. Ketika tarif naik tetapi pengawasan tidak mengikuti, pasar ilegal justru mendapatkan “durian runtuh”.
Ketegangan Menkeu dan Menkes
Ketegangan antara Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan yang mencuat belakangan ini mencerminkan perbedaan paradigma mendasar dalam memandang cukai.
Bagi Kementerian Kesehatan, cukai rokok adalah instrumen pengendalian konsumsi dan penyelamatan generasi muda dari kecanduan nikotin. Karena itu, tarif cukai harus dinaikkan secara konsisten dan agresif.
Sebaliknya, Kementerian Keuangan juga harus memastikan keberlanjutan penerimaan negara dan penciptaan lapangan kerja. Jika tarif naik terlalu tinggi tanpa penegakan yang kuat, pasar ilegal membesar dan penerimaan negara justru menurun.
Dari sinilah keputusan Menkeu untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2026 dapat dibaca sebagai kompromi politik dan fiskal. Tujuannya mungkin menghindari ledakan pasar ilegal dan menjaga penerimaan negara. Namun, konsekuensinya cukup serius: pesan kesehatan publik menjadi kabur dan seolah negara mengendurkan komitmennya terhadap pengendalian konsumsi rokok.
Pasar Gelap yang Menjamur
Rokok ilegal telah menjadi pasar bayangan yang sulit diberantas. Produksinya kerap dilakukan oleh pabrikan kecil di daerah-daerah, distribusinya mudah menyusup lintas provinsi, dan sanksinya sering kali tidak menimbulkan efek jera.
Sebagian perokok yang tertekan harga rokok legal beralih ke rokok ilegal, bukan berhenti merokok. Ini menunjukkan bahwa kenaikan cukai tanpa pengawasan yang kuat tidak efektif. Bahkan, kebijakan itu justru menciptakan distorsi pasar dan menumbuhkan ekosistem pelanggaran hukum.
Celah lainnya adalah struktur tarif cukai yang kompleks, terutama antara rokok kretek dan rokok putih, pabrikan besar dan kecil, hingga klasifikasi golongan produksi. Dalam banyak kasus, celah ini dimanfaatkan untuk menghindari tarif tinggi secara legal maupun ilegal.
Dilema Negara Tembakau
Indonesia memiliki struktur industri rokok yang khas: jutaan pekerja, ribuan pabrikan kecil, dan keterkaitan kuat dengan sektor tembakau domestik. Industri ini punya daya tawar ekonomi dan politik yang besar, terutama di daerah penghasil tembakau.
Kenaikan cukai yang terlalu tajam dapat mengancam kelangsungan hidup industri kecil-menengah. Karena itu, setiap kebijakan tarif cukai selalu politis — tarik-menarik antara kesehatan publik dan kepentingan ekonomi.
Kunci: Bukan Sekadar Tarif, Tapi Penegakan
Pelajaran penting dari negara-negara yang berhasil menurunkan angka perokok bukan semata pada kenaikan cukai, melainkan pada paket kebijakan terpadu.
Beberapa langkah krusial antara lain:
Penegakan hukum lintas sektor terhadap peredaran rokok ilegal, penerapan sistem digital tracking untuk rokok legal (track and trace), sanksi tegas dan konsisten terhadap pelaku produksi serta distribusi ilegal, edukasi publik dan pembatasan iklan secara ketat serta dukungan transisi industri kecil agar tidak bersembunyi di celah regulasi.
Tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang kuat, kebijakan cukai hanya akan menjadi alat pungut pajak, bukan instrumen perubahan perilaku.
Menata Ulang Strategi Nasional
Keputusan untuk menunda kenaikan cukai 2026 mungkin pragmatis dalam jangka pendek. Tetapi jika tidak diiringi penguatan law enforcement, pembenahan regulasi, dan koordinasi lintas kementerian, maka dampaknya jangka panjang bisa kontraproduktif.
Perokok tidak berkurang, hanya berpindah merek dan kanal distribusi, pendapatan negara bocor, sementara biaya kesehatan terus membengkak serta citra negara lemah dalam melindungi generasi muda dari bahaya adiksi nikotin.
Karena itu, sinergi Menkeu dan Menkes harus diperkuat, bukan dipertajam. Kenaikan tarif tanpa pengawasan adalah kebijakan timpang. Sebaliknya, pengawasan tanpa keberanian menaikkan tarif juga tak efektif. Keduanya harus berjalan seiring dalam kerangka strategi nasional pengendalian konsumsi rokok. (*)
Tentang Penulis:
Subono Samsudi, alumnus Teknik Geologi ITB dan S2 Studi Pembangunan ITB. Pernah bekerja di Departemen Pertambangan dan Energi serta Kementerian Lingkungan Hidup. Menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM (2013–2014), serta Kepala Dinas Kesehatan Kota Tarakan (2015–2019). Aktif menulis opini tentang kebijakan publik, lingkungan, kesehatan, dan pembangunan berkelanjutan.



















Discussion about this post