Oleh: Subono Samsudi
Isu tambang selalu mengundang perdebatan tajam. Di satu sisi, ia menjadi tulang punggung pembangunan nasional, penyumbang devisa, dan penyedia bahan baku strategis. Di sisi lain, tambang kerap dianggap sebagai biang kerok kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat adat dan pesisir.
Pandangan hitam-putih ini mencerminkan betapa lemahnya pendekatan kita dalam menilai pertambangan. Padahal, sebagaimana sektor lainnya, pertambangan juga dapat dikembangkan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, asal ada komitmen kuat dan tata kelola yang tepat sejak awal.
Pernahkah kita membayangkan bahwa bekas tambang yang rusak bisa disulap menjadi obyek wisata edukatif? Atau bahwa kawasan tambang dapat melahirkan ruang hidup baru yang lebih produktif dan lestari?
Pengalaman pribadi saya memberikan bukti bahwa hal ini bukan mimpi. Tahun 1992, saya masih seorang pejabat muda di Kementerian Lingkungan Hidup.
Saat mengikuti program Environmental Short Course di University of Tasmania, saya mengunjungi Queenstown—sebuah kota bekas tambang tembaga yang tandus, nyaris tanpa vegetasi.
Pemandunya berkata, “This is what the surface of the moon looks like.” Namun saya justru terkesan karena tempat yang rusak itu berhasil dikemas menjadi wisata edukatif.
Selain itu, saya juga mengunjungi berbagai lokasi ekowisata yang mengesankan di Tasmania. Ini jadi pelajaran awal bahwa tambang dan lingkungan tidak selalu harus saling meniadakan.
Lompatan waktu ke tahun 2008. Saya menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan, yang membawahi urusan lingkungan sekaligus energi dan pertambangan.
Saat itu muncul rencana pembangunan PLTU mulut tambang berkapasitas 30–40 MW. Rencana ini berhenti bahkan sebelum tahap AMDAL, karena mendapat penolakan keras dari masyarakat dan kelompok pencinta lingkungan.
Saya berusaha menjembatani kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan. Saya membatin, andai proyek ini jadi, harus menjadi contoh tambang yang berwawasan lingkungan dan berpihak pada keberlanjutan.
Banyak orang menganggap tambang pasti merusak. Tapi pertanyaannya bukan sekadar boleh atau tidak, melainkan bagaimana. Di banyak negara, tambang yang dikelola dengan baik justru menjadi tonggak pembangunan berkelanjutan.
Contohnya Malaysia membangun Petronas Twin Towers di atas bekas tambang timah. Thailand mengubah tambang lignit di Lampang menjadi kawasan pertanian organik. Australia mendirikan Southern Cross University di atas bekas tambang pasir. Jerman merevitalisasi kawasan industri tambang batu bara di Ruhr menjadi pusat budaya dan ruang hijau publik.
Indonesia punya tantangan dan peluang serupa. Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep adalah contoh luka ekologis akibat penambangan timah skala besar. Namun upaya perbaikan mulai terlihat, misalnya di Pulau Obi (Halmahera Selatan) dan Sorowako (Sulawesi Selatan), tempat PT Vale menunjukkan komitmen terhadap reklamasi pascatambang.
Yang menggembirakan, pemerintah juga memberikan pengakuan resmi melalui PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan). Beberapa perusahaan tambang berhasil meraih PROPER Emas.
PT Bukit Asam Tbk, dengan rehabilitasi lahan dan efisiensi energi, PT Aneka Tambang Tbk dengan program agroeduwisata dan pemberdayaan masyarakat, PT Timah Tbk di sektor pengelolaan lingkungan dan eksplorasi ramah lingkungan, PT Adaro Energy Tbk, yang mengintegrasikan prinsip ESG dalam operasional tambang batu bara.
Perusahaan-perusahaan ini membuktikan bahwa tambang berkelanjutan bukan utopia. Ia bisa dicapai melalui desain pascatambang yang matang, keterlibatan masyarakat sejak awal, serta komitmen tinggi terhadap pengelolaan limbah dan pelestarian lingkungan.
Di tengah krisis iklim dan tekanan terhadap sumber daya alam, praktik tambang berkelanjutan adalah keniscayaan. Terlebih di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag di Raja Ampat, kehati-hatian mesti dilipatgandakan. Karena jika rusak, pulihnya bisa sangat sulit—bahkan mustahil.
Tambang boleh, asal beretika. Etika terhadap alam, terhadap masyarakat, dan terhadap masa depan generasi mendatang.
Subono Samsudi Pemerhati lingkungan dan pembangunan,
Mantan Kepala Dinas LH & SDA Kota Tarakan,
Pernah bekerja di KLH (10 tahun) dan DESDM (3 tahun)
Discussion about this post