Di tengah euforia penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan, kita dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana memastikan anak-anak tetap berpikir jernih, mandiri, dan kritis, di saat jawaban instan bisa diperoleh hanya dengan beberapa ketukan jari.
Fenomena ini dikenal sebagai “brain rot”, sebuah istilah yang menggambarkan kondisi kemunduran kognitif akibat ketergantungan pada teknologi pintar. Murid-murid mulai enggan membaca, malas menulis, dan hanya mencari jawaban cepat—tanpa benar-benar memahami konteksnya.
Namun, tidak semua negara menyambut AI di ruang kelas dengan tangan terbuka. Salah satu contoh menarik datang dari Austria, sebuah negara yang jarang muncul dalam perbincangan publik di Indonesia, namun justru menunjukkan kedewasaan pendidikan yang patut ditiru.
AI bukan musuh. Ia bisa menjadi alat bantu luar biasa dalam pembelajaran—dari mempercepat proses evaluasi, memberi penjelasan tambahan, hingga membantu siswa berkebutuhan khusus. Namun, bila digunakan tanpa etika dan kontrol, AI justru dapat menjadi candu berpikir instan. Anak-anak lebih tertarik pada jawaban daripada pertanyaan; pada hasil daripada proses.
Beberapa negara maju mulai menyadari bahaya ini. Prancis melarang ChatGPT di sekolah. Inggris membuat panduan pemanfaatan AI secara etis. Singapura memberi pelatihan khusus kepada guru agar mampu memandu penggunaan AI secara bertanggung jawab. Dan Austria? Negara ini memilih jalan yang lebih sunyi namun penuh makna: menunda, meneliti, dan mengutamakan aspek manusia dalam pendidikan.
Austria memandang pendidikan sebagai proses mendewasakan manusia, bukan sekadar memproduksi tenaga kerja atau mengejar ranking global. AI bukan prioritas, karena mereka percaya—dan data membuktikan—bahwa anak-anak justru lebih berkembang dalam sistem pendidikan yang menghargai refleksi, diskusi langsung, dan praktik nyata.
Anak-anak Austria tetap menulis dengan tangan, berdiskusi langsung di kelas, menyelesaikan proyek kelompok, dan menjalani magang vokasi. Ujian mereka tak melulu pilihan ganda, melainkan berbasis portofolio dan proses berpikir. Ini semua adalah cara untuk melatih otak dan karakter, bukan sekadar memenuhi target kurikulum.
Di sinilah letak keunggulan Austria: mereka berani menolak godaan kecepatan dan memilih mendidik dengan hati-hati. Mereka tidak takut “ketinggalan teknologi”, karena sadar bahwa esensi pendidikan bukan di layar, melainkan di dalam diri.
Indonesia saat ini sedang berada dalam masa transisi kurikulum dan integrasi teknologi. Ini peluang besar, namun sekaligus ujian berat. Kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam euforia digitalisasi yang justru merusak inti dari pendidikan itu sendiri.
Ada beberapa langkah konkret yang bisa kita pelajari dari Austria:
- Memperkuat peran guru sebagai fasilitator berpikir, bukan hanya pengawas tugas.
- Menekankan proses, bukan sekadar hasil akhir. Tugas sebaiknya tidak hanya dinilai dari benar-salah, tapi dari cara berpikir yang dibangun.
- Mengajarkan etika digital dan literasi AI sejak dini.
- Menghidupkan kembali diskusi kelas, tulisan tangan, dan kegiatan proyek nyata.
Kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi, termasuk AI. Namun kita bisa memilih cara menggunakannya: sebagai alat bantu, bukan pengganti nalar. Sebagai jembatan berpikir, bukan jalan pintas.
Kita butuh generasi yang cakap teknologi, tapi juga tajam dalam berpikir dan berempati. Generasi yang bukan hanya pandai menyalin jawaban, tapi berani mempertanyakan dan membangun gagasan.
Austria telah memberi teladan bahwa kemajuan sejati tidak diukur dari seberapa cepat teknologi diadopsi, tetapi dari seberapa kuat karakter dan nalar dibentuk. Di era AI, kita ditantang untuk tetap mendidik manusia seutuhnya.
Penulis: Dra. Iis Aisah Ahadyah
Kepala MAN Tarakan
Discussion about this post