NUNUKAN – Anjloknya harga jual Tandan Buah Sawit (TBS) membuat petani, khusus petani di Sebakis mengeluh. Mereka mengadu ke DPRD Nunukan agar diberikan solusi melalui hearing bersama pemerintah pada Jumat (1/7/2022).
Setidaknya ada beberapa tuntutan petani yang diajukan dalam hearing yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Nunukan Welson. Namun intinya, meminta pemerintah mencari solusi bagi petani yang terkena imbas anjloknya harga TBS.
Perwakilan petani Sebakis, Sahir Tamrin mengungkapkan, harga jual TBS semula Rp3,2 juta per ton, namun turun hingga Rp1,2 juta per ton. Harga inipun dinilai sangat tidak cukup menutupi pengeluaran petani. Bahkan, kemungkinan akan tekor lantaran harga pupuk maupun racun mulai naik.
“Biaya transportasinya Rp600 ribu, tukang panennya Rp200 ribu, terus daya angkut lansir keluar Rp100 ribu. Makanya angka bersih di kami itu paling Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Makanya saya dengan petani di Sebatik itu belum panen dalam 28 hari terakhir ini,” jelasnya.
Dia menegaskan, para petani ini tidak meminta harga terlalu tinggi. Paling tidak, harganya sudah menyesuaikan pengeluaran maupun keuntungan. Paling tidak, kisaran Rp2,8 juta.
“Kalau memang tidak mampu, tolong ijinkan kami petani menjual ke langsung ke Malaysia. Karena disana harganya, RM1.360 per ton atau setara Rp4.613.000 (kurs Rp3.392),” pungkasnya.
Dia meminta ketegasan instansi terkait penetapan harga yang sebelumnya telah dibuat beberapa waktu lalu oleh provinsi, namun ternyata tak diikuti oleh pabrik.
“Di surat itu jelas harga tertinggi Rp2,5 juta dan terendah Rp2,3 juta, sedangkan pabrik beli Rp1,2 juta,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Nunukan, Muhtar mengatakan, pihaknya hanya sebagai mediator penetapan harga. Sebab, penetapan harga hanya bisa dilakukan oleh petani dan Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
“Intinya, kita hanya mempertemukan mereka. Nanti kesepakatan mereka, kita buatkan berita acara. Jadi, bukan kita yang menetapkan harga sepihak,” jelasnya.
Dari penetapan harga di periode Juni, kata dia, masih terbilang tinggi, yakni Rp2.677 per kg dan terendah TM 3 Rp2.366.
“Nah, tanggal 28 Juni, kita lakukan rapat lagi dan berlaku hanya 1 Juli hingga 13 Juli, itu yang terendah TM 3 Rp1.362 dan tertinggi Rp1.514 ribu. Kenapa, harga ini ditetapkan ada rumusnya, jadi CPO yang terjual dengan harga cernel itu ada indeksnya maka ditemukan harga bervariasi mulai TM 1 sampai TM 10,” bebernya.
Sementara, harga yang ditetapkan pemerintah dari berita acara kesepakatan petani dan pabrik, hanya berlaku untuk petani plasma dan kemitraan.
“Jadi, petani mandiri itu bebas, tidak dicantum dan tidak bisa mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah. Itu sudah jelas diatur dalam Permennya,” bebernya.
Untuk itu, dia menyarankan agar petani mandiri ini untuk dapat bermitra dengan PKS di sekitarnya.
“Makanya kita sudah sepakat dengan provinsi, bahwa kita akan ajukan perubahan Permen ini agar semua petani bisa masuk baik kemitraan, plasma maupun mandiri,” tambahnya
Dia menyampaikan kasus PKS di Sebakis yang tidak mengambil sawit sebagian besar milik petani, dikarenakan PKS seperti SIL dan PIL hanya mengambil buah sawit jenis tinera. Sementara petani sebagian besar produksi sawit dura.
“Bedanya, tinera itu biji di dalamnya kecil terus sambuknya besar, jadi potensi minyaknya besar. Kalau dura itu, biji dalam besar sehingga potensi minyaknya sedikit. Karena yang diambil kan minyak di antara sabuk dan bijinya. Kalau dipaksakan, itu mesin perusahaan bisa rusak karena memang hanya untuk tinera,” ujarnya.
Persoalan sawit ini, ditegaskannya akan dibahas kembali di provinsi. Jika tak bisa dibikinkan Peraturan Gubernur (Pergub), maka pihaknya akan berupaya membuatkan Peraturan Bupati (Perbup).
Sementara itu, anggota DPRD Nunukan, Andi Krislina mengatakan, meskipun DPKP hanya sebagai mediator, namun paling tidak harus pasang badan melindungi petani lokal.
“Karena ini sawit bukan ditanam bulan ini lalu tumbuh bulan depan, tidak. Ini ditamam sudah bertahun tahun. Sudah terlanjur ditanam. Nah, yang harus dipikirkan, kelompok ini mau diapakan sehingga tidak menangis seperti hari ini,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, pemerintah membuat pembinaan terhadap petani mandiri. Bukan justru menabrak dengan aturan yang ada.
Bahkan, kalau perlu, kelompok tani ini harus mendapat perhatian khusus.
“Toh, mereka juga tidak menuntut harganya harus sekian, tapi paling tidak yang masuk akal, bukan sebaliknya turun bebas. Karena mereka juga ada pengeluaran,” ujarnya.
Dia menegaskan harus ada solusi yang ditawarkan kepada mereka. Sehingga, ketika mereka pulang, ada cerita bisa diandalkan.
“Cobalah bicara dengan perusahaan. Ada banyak kebutuhan mereka dengan bergantung pada sawit ini. Sebaik apapun dan sejahat apapun perusahaan, saya lebih berpihak kepada kelompok tani. Perusahaan rugi beli tetap akan untung, saya pernah jadi bendahara perusahaan sawit, jadi paham betul bagaimana keuangannya,” tutupnya.