TARAKAN – Bagi umat muslim punya kewajibkan berpuasa selama 14 jam setiap hari di bulan Ramadan. Namun, Apakah pasien penderita maag di kalangan umat muslim boleh berpuasa di bulan Ramadan?
Menurut dokter spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan dr. Ni Putu Merlynda Pusvita Sp.PD, harus dibedakan dulu jenis penyakit maag yang diderita pasien. Karena di kalangan dunia medis, ada dua jenis penyakit maag. Yakni dispepsia fugsional dan dispepsia organik.
“Apa artinya fungsional? artinya tidak ada kelainan struktural di lambungnya. Untuk tahu kelainan struktural itu bagaimana? Ya dilakukan pemeriksaan endoskopi, karena dari endoskopi itu terlihat apa yang terjadi di dalam lambungnya. Apakah ada lukanya ataukah ada kemerahan ataukah ada bakteri di lambungnya, ataukah ada tumornya. Kalau misalnya semua itu tidak ada berarti kita namakan itu dispepsia fungsional,” beber Ni Putu Merlynda Pusvita.
Dispepsia fungsional terjadi biasanya disebabkan pola makan yang tidak teratur, dan stress. Karena itu, pasien yang mengalami dispepsia fungsional dianjurkan untuk berpuasa. Karena menurut dr. Linda –sapaan akrabnya- justru dengan berpuasa lambungnya akan membaik. Karena pada saat berpuasa, makan jadi teratur dan secara psikis lebih tenang karena lebih banyak beribadah.
Sebaliknya, pasien yang mengalami dispepsia organik, dengan berpuasa biasanya keluhannya akan memberat. Misalnya pada saat berpuasa menjadi lebih parah seperti mengalami mual, muntah dan lainnnya, berarti ada gejala akut. Dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
“Kalaupun ingin berpuasa mungkin konsultasikan ke dokter, apakah perlu minum obat untuk sebelum sahur dan setelah berbuka,” tambah dr. Lynda, ditemui awak media usai menjadi narasumber pada talk show dengan tema kupas tuntas, apakah pasien sakit maag boleh berpuasa, di Auditorium gedung RSUD Tarakan Lantai 6, Kamis (22/4/2021).
Dispepsia organik biasanya terjadi karena lambungnya luka, atau ada bakteri di lambungnya sehingga menyebabkan sakit lambungnya tidak kunjung sembuh. Untuk mengetahuinya, dilakukan pemeriksaan endoskopi.
Yang terpenting juga, menurut alumni S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini, pasien dispepsia atau sakit lambung, harus menjaga pola makan dengan menghindari makanan yang mengandung gas tinggi.
“Misalnya tidak boleh makan makanan yang mengandung gas yang tinggi. Sayur kol, sayur sawi, kemudian nangka, keju juga tidak boleh, makan makanan yang banyak lemaknya seperti yang digoreng, santan, full cream, kopi, soda, ketan, tape, makanan pedas, makanan kecut, itu yang harus dihindari,” ungkapnya.
“Dan pada saat buka dan sahur lebih baik porsi makan jangan terlalu banyak, tapi sedikit-sedikit saja dan jangan sampai kekenyangan. Kemudian tidak boleh habis makan langsung tidur, harus ada jedanya dua jam,” saran dr. Lynda.
Wanita yang mengambil spesialis penyakit dalamnya di Universitas Airlangga ini meyakini bahwa penyakit lambung masih bisa disembuhkan. Dengan catatan harus diketahui terlebihdulu apa penyebabnya.
Perasaan tidak enak yang dirasakan di sekitar ulu hati seperti mual, kembung, muntah, nyeri, menurut dr. Lynda, belum tentu menandakan sakit lambung atau maag. Karena banyak organ di bagian atas perut. Misalnya seperti hati (liver), empedu dan pankreas.
“Pastikan dulu penyebabnya apa, atau mungkin pasien tersebut punya penyakit yang lain, misalnya punya penyakit ginjal, punya penyakit gula, berarti kelainan lambungnya karena penyakit ginjalnya tersebut atau karena penyakit gulanya,” ungkapnya.
Untuk mengetahui organ mana di dalam tubuh yang bermasalah, harus dilakukan USG. Karena dengan USG, bisa dipastikan bahwa organ lain di dalam perut aman. Jika demikian, berarti kemungkinan besar penyebabnya dari lambung.
Jika benar karena lambungnya bermasalah, maka dilakukan pengobatan pada lambungnya. Jika tidak membaik juga, maka dilakukan endoskopi untuk melihat apakah kelainan struktural atau fungsional.
“Apakah bisa diobati? Tentu bisa, asal kita mengobatinya tepat. Misalnya diobati lambung tidak sembuh-sembuh, tahu-tahu di USG bukan lambung, ternyata ada tumor di hatinya, ternyata di USG ada batu empedunya, berarti pengobatan lambung selama ini tidak tepat sasarannya. Berarti penyakitnya bukan penyakit lambung, tapi batu empedu, mungkin batu empedunya perlu dioperasi untuk menyembuhkan,” ungkapnya.
Karena itu, menurut dr. Lynda, untuk menyembuhkan penyakit maag, banyak faktor yang dinilai. Pertama harus tahu sakitnya apa. Kemudian bagaimana pola hidupnya, pola makannya, tingkat stressnya dan obat apa yang dikonsumsi karena ada beberapa obat yang bisa mempengaruhi lambung.
Ni Putu Merlynda Pusvita memastikan RSUD Tarakan bisa menangani pengobatan pasien penderita maag, dengan peralatan yang dimiliki seperti USG dan endoskopi.
“Sangat bisa, sangat bisa. Biasanya kalau ada pasien dengan keluhan dispepsia datang, pertama kali pasti kita lakukan USG kalau pasien datang ke poli penyakit dalam. Untuk memastikan bahwa organ lain di dalam perutnya itu normal,” tuturnya.
Jika hasil USG ternyata normal, maka dilakukan pengobatan dengan memberikan obat-obat lambung. Jika setelah diobat tidak membaik juga, baru disarankan untuk pemeriksaan dengan endoskopi.
Akan tetapi jika ada pasien penderita maag yang merasakan gejala akut seperti muntah darah, berat badan turun drastis, usai sudah lanjut dan diobati dengan obat lambung namun tidak kunjung sembuh, maka harus dilakukan pemeriksaan endoskopi.
Ni Putu Merlynda Pusvita juga menjelaskan perbedaan asam lambung dengan penyakit maag. Di mana asam lambung atau diistilahkan gerd terjadi karena isi lambung naik ke atas. Dampaknya, keluhan dirasakan di bagian atas. Seperti dada terasa panas dan terasa nyeri serta sering sendawa. Sementara penyakit lambung atau dispepsia adalah kelainan yang ada di dalam lambung.
Cara pengobatannya pun berbeda, dimana obat yang diberikan untuk penanganan asam lambung berbeda dengan sakit maag. (jkr-1)
Discussion about this post