JAKARTA – Komite II Dewan Pimpinan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RPD) pada Senin (15/3/2021) di gedung Senayan, Jakarta.
RPD menghadirkan tiga kementerian. Yakni Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Penyuluh Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian dan Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Disamping itu, juga menghadirkan sejumlah pakar penyuluhan pertanian. Di antaranya Prof. Dr. Ir. Sumardjo M.S, Prof. Dr. Bustanul Arifin dan Ir. Mulyono Makmur, M.M.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komite II DPD-RI Hasan Basri tersebut berlangsung dalam rangka membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K).
Para ahli mengemukakan bahwa saat ini terdapat konflik kebijakan antara UU SP3K dengan UU Pemerintahan Daerah. Hal itu berimplikasi pada penerapan Undang-Undang di lapangan. Ketiadaan kelembagaan penyuluh pertanian menjadi salah satu faktor kian menurunnya jumlah penyuluh.
“Secara umum, total jumlah penyuluh semakin turun. Kemudian ada penyuluh PNS, Swadaya, dan Swasta dengan target mendirikan kelembagaan perekonomian petani”, papar Prof. Dr. Bustanul Arifin.
Ia melanjutkan bahwa dalam paradigma penyuluhan baru, penanggung jawab penyuluhan mesti melibatkan banyak elemen masyarakat, perguruan tinggi, petani, swasta, NGO, dan lain-lain. Hal ini mengingat fungsi penyuluhan telah mengalami perluasan yakni memobilisasi, mengorganisir dan mendidik petani agar mampu membantu dirinya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Sumardjo M.S. memaparkan bahwa dengan lumpuhnya sistem penyuluhan di tingkat daerah akibat pemberlakuan UU Pemda berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan UUD 1945.
“Melemahnya fungsi sistem penyuluhan berpotensi melemahkan Pasal 28F UUD 1945. Dampaknya di era keterbukaan informasi pada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka warga negara (masyarakat) berpotensi besar dapat tersesat di rimba informasi,” paparnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ir. Mulyono Makmur M.M. Menurutnya Penyuluh sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warna negara Republik Indonesia. Untuk itu menurutnya pemerintah berkewajiban dalam menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Secara umum, rapat dengar pendapat tersebut menyimpulkan pentingnya mendorong revisi UU SP3K dengan tujuan penguatan kelembagaan serta penegasan tugas dan fungsi penyuluh di lapangan sebagai pendidik dan mobilisator ekonomi perdesaan.
Wakil Ketua Komite II DPD-RI Hasan Basri membeberkan, kegiatan ini merupakan tindaklanjut dari rapat bersama Komisi IV DPR-RI pada 2020 lalu membahas terkait perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K.
“Pada saat itu kita diundang, saya mewakili Komite II DPD-RI, bersama Menteri Hukum dan Ham, Menteri PUPR, kemudian Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, diundang oleh Komisi IV dalam rangka rencana pembahasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006,” beber Hasan Basri, Selasa (16/3).
Namun pada saat itu, lanjut senator asal Kalimantan Utara (Kaltara) ini, RUU tentang SP3K ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Porlegnas). Komite II DPD-RI kemudian melakukan inisiasiatif untuk membahas lebih lanjut perubahan UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K.
Hal itu dilakukan karena menurut alumni SMKN 2 Tarakan ini, karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K sudah 13 tahun, sudah berbenturan dengan Undang-Undang lainnya seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. “Makanya perlu diatur ulang,” imbuhnya.
Dilaksanakanlah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang tiga kementerian terkait pada Senin (15/3/2021). Informasi yang diperolehnya dari Kementerian Pertanian, penyuluh pertanian kurang lebih 35 ribu penyuluh di seluruh Indonesia, sementara penyuluh keluatan dan perikanan sekitar 2.300 penyuluh, sama dengan penyuluh KLHK. Jumlah itu dinilai masih kurang.
Di sisi lain, Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang SP3K bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan sejumlah Undang-Undang serta aturan lainnya. Sehingga dari informasi dan pendapatan yang disampaikan kementerian terkait, perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006.
“Sehingga DPD-RI menganggap bahwa ini akan tetap kita perjuangan dan kita usahakan untuk mengoalkan agar tidak menjadi disitegrasi bangsa,” ungkapnya. (jkr-1)
Discussion about this post