Oleh: Dra. Iis Aisah Ahadyah, Kepala MAN Tarakan.
Belakangan ini Indonesia diramaikan oleh beredarnya ajakan demo melalui media sosial. Yang menarik, ajakan itu hadir tanpa wajah. Tidak ada organisasi resmi yang mengaku sebagai penanggung jawab, tidak ada tokoh publik yang tampil di depan, bahkan sering kali akun yang menyebarkannya pun anonim. Meski begitu, tetap ada masyarakat yang tergerak untuk turun ke jalan.
Fenomena ini mengundang pertanyaan: mengapa demo tanpa pemimpin bisa terjadi, bahkan diikuti oleh banyak orang?
Era Clickbait dan Algoritma
Salah satu jawabannya terletak pada ekosistem informasi digital. Di media sosial, konten yang paling cepat viral bukanlah yang paling faktual, melainkan yang paling emosional. Ajakan demo sering dikemas dalam bentuk poster digital, potongan video, atau narasi singkat yang provokatif. Judulnya mirip clickbait, tujuannya menggugah rasa marah, takut, atau kecewa.
Algoritma media sosial memperkuat pola ini. Konten yang banyak dikomentari, dibagikan, atau memicu perdebatan otomatis muncul di lebih banyak layar gawai. Akibatnya, ajakan yang tidak jelas sumbernya bisa seolah-olah hadir di mana-mana dan terkesan sebagai aspirasi besar, padahal mungkin hanya berasal dari sekelompok akun anonim.
Rendahnya Literasi Digital
Masalah lain adalah literasi digital masyarakat yang masih rendah. Banyak pengguna media sosial berhenti pada judul atau caption tanpa menelusuri isi berita, apalagi memeriksa siapa pengunggahnya. Poster ajakan demo pun segera dibagikan hanya karena terasa “penting”, padahal sumbernya tidak jelas.
Kebiasaan ini membuka ruang besar bagi misinformasi dan manipulasi. Masyarakat menjadi mudah terjebak dalam arus informasi yang setengah benar atau bahkan salah sama sekali.
Kekecewaan yang Mengendap
Namun, persoalan ini tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi teknologi. Ajakan samar dan tanpa penanggung jawab sekalipun tidak akan mendapat respons jika masyarakat dalam keadaan puas. Sebaliknya, ketika ada rasa frustrasi terhadap kondisi ekonomi, kebijakan politik, atau rasa ketidakadilan, masyarakat lebih mudah tersulut.
Media sosial dalam hal ini hanya berperan sebagai pemantik. Api sebenarnya sudah ada dalam bentuk keresahan yang mengendap di masyarakat. Ketika ruang formal demokrasi dianggap lambat merespons, ajakan dari sumber anonim pun bisa cukup untuk memicu aksi.
Gerakan Tanpa Pemimpin
Fenomena demo belakangan ini juga mencerminkan tren global: leaderless movement atau gerakan tanpa pemimpin. Kita pernah melihatnya dalam Arab Spring di Timur Tengah, gerakan mahasiswa di Hong Kong, hingga protes iklim di berbagai kota Eropa. Gerakan semacam ini mengandalkan kekuatan jaringan digital, bukan tokoh karismatik.
Kelebihannya, gerakan ini sulit dipatahkan karena tidak bergantung pada satu orang atau organisasi. Namun kelemahannya, ia mudah terfragmentasi, kehilangan arah, bahkan rawan ditunggangi pihak-pihak yang punya agenda politik tersembunyi.
Risiko bagi Demokrasi
Demo tanpa wajah menunjukkan bahwa ruang digital memberi peluang bagi siapa pun untuk bersuara. Namun risikonya besar. Pertama, akuntabilitas menjadi kabur karena tidak ada penanggung jawab yang jelas. Kedua, misinformasi mudah merebak dan memperkeruh suasana. Ketiga, dialog substantif sering hilang karena aspirasi tidak tersampaikan melalui jalur yang terstruktur.
Dalam demokrasi, protes adalah hal wajar. Ia merupakan mekanisme koreksi dan bentuk partisipasi rakyat. Namun agar demo bisa menghasilkan perbaikan, harus ada kejelasan tuntutan, struktur kepemimpinan, dan jalur komunikasi dengan pemerintah. Tanpa itu, demo hanya menjadi luapan emosi sesaat, yang setelah reda tidak menyisakan solusi nyata.
Jalan ke Depan
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan untuk menghadapi fenomena ini. Pertama, literasi digital masyarakat harus terus ditingkatkan agar publik tidak mudah terjebak dalam clickbait atau ajakan anonim. Pendidikan kritis mengenai cara membaca informasi, memeriksa sumber, dan memahami algoritma media sosial menjadi sangat penting.
Kedua, pemerintah dan elit politik perlu lebih peka terhadap tanda-tanda kekecewaan sosial. Ketidakpuasan masyarakat tidak boleh dibiarkan menumpuk hingga akhirnya meledak dalam bentuk aksi tanpa arah. Respons cepat, transparansi, dan komunikasi dua arah adalah kunci.
Ketiga, media arus utama harus konsisten menjaga integritas informasi. Dalam situasi yang penuh emosi, media seharusnya menjadi penyeimbang, bukan justru ikut terjebak dalam pola clickbait yang hanya memancing sensasi.
Penutup
Demo tanpa wajah adalah alarm. Ia menandakan bahwa di tengah gempuran informasi digital, ada jurang antara kebutuhan masyarakat untuk didengar dan mekanisme formal demokrasi yang lambat merespons. Menutup jurang itu jauh lebih penting daripada sekadar meredam gejolak sesaat.
Jika jurang itu tidak ditutup, kita akan terus menyaksikan munculnya ajakan-ajakan anonim yang menggugah emosi, tanpa ada jaminan bahwa energi publik yang besar itu akan benar-benar menghasilkan perubahan positif. (*)



















Discussion about this post