Penulis: Subono Samsudi
Pada tahun 2006, Kota Tarakan mencatat sejarah penting yang semestinya menjadi pijakan jangka panjang:meraih penghargaan Kalpataru dan Sertifikat Adipura. Kedua penghargaan ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi buah nyata dari arah kebijakan yang berpihak pada lingkungan hidup dan keberlanjutan kota.
Di balik keberhasilan itu, berdiri seorang pemimpin daerah yang jarang disorot dalam diskursus nasional: Dr.H.Jusuf SK, Wali Kota Tarakan saat itu. Saya mnenyebutnya sebagai arsitek utama pembangunan berkelanjutan di Tarakan, bukan karena jabatan formalnya,tetapi karena keberanian politiknya yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini.
Visi yang Berani, Memperluas Hutan, Menata Pesisir
Tak banyak kepala daerah yang berani mengambil langkah yang “tidak populer secara ekonomi, tetapi sangat bermakna secara ekologis. Salah satu kebijakan monumental Jusuf SK adalah perluasan kawasan hutan lindung dari hanya 2.400 ha menjadi 6.860 hektar.
Artinya,hampir tiga kali lipat dari sebelumnya-di sebuah kota kecil dengan luas daratan hanya sekitar 250 k㎡2.
Langkah besar lainnya adalah membebaskan tambak seluas 13 ha di sekitar Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) dan menatanya sebagai kawasan konservasi.
Bahkan,tambak 24 hektar di belakang Pasar Boom Boom juga dialihfungsikan menjadi hutan mangrove kota.
Kebijakan ini bukan hanya menyelamatkan ekosistem pesisir,tetapi juga menyelamatkan ruang hidup satwa lokal seperti bekantan yang terancam punah.
Tarakan, Pulau Minyak dan Keberanian Menolak Batubara
Kota Tarakan punya sejarah panjang sebagai kota tambang, khususnya minyak dan gas bumi. Sejak era kolonial,bahkan dalam Perang Dunia II, Tarakan dikenal sebagai “Pearl Harbour of the East” karena menjadi medan pertempuran sengit antara Sekutu dan Jepang yang memperebutkan sumber daya minyak. Julukan lain yang melekat adalah Pulau Minyak-merujuk pada peran strategisnya sebagai penghasil migas di utara Kalimantan.
Hingga kini, Pertamina dan Medco masih beroperasi di Tarakan, dan dalam RTRW yang berlaku,ruang eksplorasi dan eksploitasi migas tetap diakomodir.
Namun yang menarik, sejak awal era otonomi, Pemerintah Kota dan DPRD Tarakan mengambil sikap tegas untuk menolak pertambangan batubara, meski cadangannya di kota.
ini mencapai 120-140 juta ton. Sikap ini kemudian dikunci dalam Perda RTRW No.24Tahun 2012,yang tidak mengalokasikan ruang untuk tambang batubara di wilayah Kota Tarakan.
Dalam konteks ini, Tarakan memberikan pelajaran penting:bahwa tidak semua potensi sumber daya alam harus dieksploitasi secara serampangan, apalagi jika risikonya menghancurkan fungsi ekologis pulau kecil seluas 250 k㎡.
Dari Puncak Menuju Kemerosotan
Sebagai seorang yang pernah bertugas sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA,saya menyaksikan langsung bagaimana semangat ini tumbuh.Pembangunan ruang terbuka hijau, pengelolaan sampah terpadu, dan pendidikan lingkungan sekolah (tabungan sampah)adalah refleksi nyata bahwa pembangunan tidak harus mengorbankan ekologi demi ekonomi.
Namun sayangnya, apa yang dibangun tidak sepenuhnya dilanjutkan. Setelah masa keemasan itu,pembangunan berkelanjutan di Tarakan mengalami kemunduran yang menyedihkan.Kawasan hutan lindung dan hutan mangrove yang dulu diperluas dengan susah payah, kini banyak yang dibabat dan dialihfungsikan untuk kepentingan lain.
Jika dulu 42% daratan Tarakan dikunci sebagai ruang hijau tetap, kini persentase itu terus tergerus.KKMB yang dahulu berkembang dari 9 ha menjadi 22 ha, kini stagnan. Adipura sudah lebih dari satu dekade tidak lagi mampir ke Tarakan. Padahal dulu, Tarakan adalah satu-satunya kota di Kalimantan Utara yang meraih Adipura berturut-turut dari 2006hingga 2009,lalu 2012 dan 2013.
Penarikan Kewenangan dan Dampaknya
Dalam satu dekade terakhir, tantangan lain muncul seiring kebijakan Pemerintah Pusat yang menarik kembali sejumlah kewenangan dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi dan pusat.Kewenangan strategis di bidang kehutanan, pertambangan, dan kelautan,yang sebelumnya menjadi ranah otonomi daerah, kini dikuasai oleh provinsi dan kementerian teknis.
Penarikan kewenangan ini, meskipun memiliki dasar hukum, telah menciptakan jarak antara kebijakan pusat dan kebutuhan lokal. Pemerintah kota kehilangan instrumen penting untuk mengendalikan tata ruang, perlindungan kawasan pesisir, serta pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara langsung. Bahkan upaya pelestarian dan inisiatif lokal yang terbukti berhasil di masa lalu, seperti KKMB atau moratorium tambang batubara, menjadi rentan ketika tidak lagi didukung secara formal dari sisi kewenangan.
Belajar dari Visi yang Pernah Ada
Tarakan bukan kota tambang. Ia adalah kota jasa dan perdagangan, beranda utara Indonesia yang potensial menjadi pusat pertumbuhan hijau di Kalimantan.Namun, untuk
itu,visi keberlanjutan harus kembali ditegakkan. Kebijakan lingkungan bukan sekadar pelengkap,tapi penentu arah masa depan.
Warisan Dr.Jusuf SK bukan hanya data dan penghargaan, tetapi nilai. Nilai bahwa pembangunan harus berpijak pada etika antargenerasi. Bahwa ruang hijau bukan beban,melainkan investasi masa depan.Dan bahwa pemimpin daerah bisa memilih jalan yang benar meski tidak selalu mudah.
Jika Tarakan ingin bangkit kembali, maka ia harus menoleh ke belakang-bukan untuk bernostalgia,tetapi untuk belajar. Belajar bahwa puncak keemasan pembangunan berkelanjutan itu pernah terjadi, dan bisa terjadi lagi jika ada keberanian, konsistensi, dan kemauan politik yang kuat. (*)
Penulis merupakan pemerhati lingkungan dan pembangunan,mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan, Ketua Komunitas Mantap Indonesia Tarakan.
Discussion about this post