Oleh: Subono Samsudi
Saya masih ingat betul masa awal saya ditugaskan di Kota Tarakan pada tahun 2000. Sebagai pendatang dari KLH pusat Jakarta yang terbiasa dengan dinamika nasional, saya tak menyangka akan begitu terkejut dengan kondisi lingkungan di daerah ini.
Kota yang sedang bergeliat di awal otonomi daerah itu ternyata menyimpan potret suram— kerusakan lingkungan hidup di depan mata, dan lemahnya kesadaran pengelolaan ruang hidup.
Salah satu reportase televisi yang paling menampar datang dari Elly Husin, wartawati muda RCTI yang khusus meliput isu pembangunan dan lingkungan di Tarakan. Dalam tayangan tahun 2001 itu, ia memberi “rapor merah” bagi kota ini.
Jalan utama di depan Bandara Juwata, Mulawarman, dipenuhi banjir pasir setiap kali hujan atau angin besar datang. Sementara itu, pemukiman pesisir padat dan kumuh, dengan sampah yang dibiarkan berserakan tanpa pengelolaan.
Tapi yang paling membekas dalam benak saya adalah kondisi Pantai Amal—ikon wisata kota yang seharusnya menjadi kebanggaan, namun saat itu lebih menyerupai zona krisis.
Bronjong batu sudah tidak sanggup menahan abrasi laut, pohon-pohon kelapa miring dan tumbang. Bahkan air laut kerap menyentuh rumah penduduk.
Tidak ada keteduhan, tidak ada fasilitas yang layak, dan parahnya: sapi-sapi milik warga bebas berkeliaran di kawasan pantai.
Sebagai bagian dari instansi lingkungan hidup kala itu, saya bersama Camat Tarakan Timur waktu itu, mencoba melakukan intervensi. Kami memulai upaya penghijauan. Bibit pohon, ajir, pagar pelindung—semuanya hasil dukungan perusahaan setempat yang peduli, bukan dari APBD.
Tapi respons masyarakat mengejutkan kami. Warga menolak. Mereka khawatir penghijauan hanyalah dalih untuk penguasaan lahan. Trauma masa lalu terhadap konflik tanah membuat niat baik kami dicurigai.
Tak ingin mundur, kami putar haluan: mulai dari yang paling dasar—aksi kebersihan. Maka lahirlah kegiatan Sikebal (Aksi Kebersihan Pantai Amal). Sikebal 1 dan Sikebal 2 kami gelar bersama pelajar, ASN, LSM, dan komunitas peduli lingkungan.
Kami membersihkan pantai dari tumpukan sampah dan limbah kayu. Puluhan, bahkan ratusan orang terlibat dengan penuh semangat.
Tapi harapan itu tak bertahan lama. Warga setempat tetap apatis. Sampah kembali berserakan hanya beberapa hari setelah aksi selesai.
Pohon yang kami tanam rusak diinjak ternak. Salah satu aktivis lingkungan berseloroh, “Mereka keenakan. Nanti juga dibersihkan lagi sama Sikebal.”
Lelucon itu menyakitkan, tapi jujur. Sikebal yang kami banggakan ternyata tak menggugah kesadaran warga.
Dari situlah saya mulai merenung. Ternyata kampanye, aksi gotong royong, dan idealisme tidak akan cukup jika tidak diikuti dengan sistem dan penegakan aturan yang tegas.
Kami seperti membangun di atas pasir. Tanpa dasar hukum dan komitmen kolektif, semua usaha hanya menjadi momen sesaat.
Kini, setelah lebih dari dua dekade, saya melihat banyak kota mencoba melakukan hal serupa. Aksi bersih pantai menjadi agenda rutin, seremonial lingkungan digelar tiap pekan.
Tapi perubahan nyata tetap sulit dicapai jika tak ada law enforcement. Tanpa aturan yang ditegakkan dengan konsisten, kawasan pantai akan tetap jadi tempat pembuangan, ruang publik rusak, dan masyarakat dibiarkan dalam kebiasaan lama.
Kawasan Pantai Amal butuh lebih dari sekadar aksi. Ia membutuhkan tata kelola yang baik. Perda pengelolaan sampah yang ditegakkan. Penertiban ternak yang konsisten.
Perlindungan kawasan pesisir yang dijaga bersama. Dan itu hanya bisa lahir dari kombinasi antara pendidikan, regulasi, dan keberanian menegakkan hukum.
Refleksi saya sederhana: lingkungan yang sehat tidak bisa bergantung pada semangat sementara. Ia butuh sistem. Ia butuh aturan. Dan terutama, ia butuh penegakan hukum yang adil dan konsisten.
Sikebal telah kami lakukan, dan kini dilanjutkan oleh penerus kami. Tapi jika tak diikuti langkah berikutnya—yaitu law enforcement—maka Sikebal hanya akan tinggal nama. Dan Pantai Amal akan kembali gersang dan kotor, tak hanya oleh abrasi laut, tapi oleh kelalaian kita semua. (*)
Discussion about this post