Oleh: Subono Samsudi, Praktisi dan Pengamat Lingkungan
Penulis merupakan mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tarakan pernah bertugas hampir 10 tahun di Kementerian Lingkungan Hidup dan 3 tahun di Departemen Pertambangan dan Energi.
Belakangan ini, sorotan publik tertuju pada tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Polemik yang mencuat bukan semata soal legalitas perizinan, tetapi lebih dalam, menyangkut arah pembangunan yang diambil negara. Antara ekonomi ekstraktif dan keberlanjutan ekologi, mana yang lebih diprioritaskan?
Pulau Gag adalah kawasan yang dulu termasuk wilayah konservasi laut dan perairan Raja Ampat. Namun, jejak sejarah pertambangan di sana sudah ada sejak tahun 1990-an.
Setelah serangkaian perubahan regulasi dan pengalihan kewenangan, kini muncul kembali aktivitas tambang yang menimbulkan keresahan, terutama dari kalangan pemerhati lingkungan dan pelaku pariwisata.
Presiden baru, yang belum genap setahun menjabat, akhirnya mencabut izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat. Ini menjadi sinyal politik penting bahwa negara sedang mencari titik keseimbangan antara investasi dan keberlanjutan.
Sebagai praktisi yang pernah terlibat langsung dalam pengelolaan lingkungan hidup daerah, saya melihat kasus ini bukan hal baru. Dua dekade lalu, saat menjabat sebagai Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Tarakan, Kalimantan Utara, kami menghadapi dilema serupa.
Tarakan adalah sebuah pulau dengan luas hanya sekitar 250 km². Relatif kecil dan rentan secara ekologis. Namun demikian, Tarakan bukanlah daerah yang anti terhadap investasi, termasuk di sektor pertambangan. Kota ini bahkan dikenal sebagai Pulau Minyak, dan hingga kini masih terdapat dua perusahaan migas yang aktif beroperasi.
Namun, pada awal era otonomi daerah, kami secara tegas menolak rencana investasi perkebunan kelapa sawit yang akan membuka hutan sekunder bekas kawasan hutan Agathis. Tak lama kemudian, kami juga menolak dokumen AMDAL tambang batu bara karena lokasi konsesinya bersinggungan dengan kawasan tangkapan air kota.
Sikap ini didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan keberpihakan terhadap kelestarian jangka panjang. Wali Kota Tarakan saat itu, almarhum dr. Jusuf S.K., adalah pemimpin yang memiliki keberanian moral untuk berkata “tidak” pada investasi yang mengancam lingkungan. Langkah Tarakan kala itu bahkan kemudian diikuti oleh Pemerintah Kota Balikpapan yang mengambil kebijakan serupa.
Pengalaman ini mengajarkan bahwa kebijakan yang benar bukan hanya soal prosedur hukum, tetapi soal keberanian pemimpin untuk berpihak. Keperpihakan para pemimpin—baik di tingkat daerah maupun nasional—menjadi penentu arah masa depan.
Hari ini, ketika pertambangan dan pariwisata bertarung memperebutkan ruang di Raja Ampat, pertanyaan yang sama kembali muncul: apakah kebijakan kita berpihak pada masa depan ekologis atau pada keuntungan jangka pendek?
Pariwisata konservasi di Raja Ampat terbukti memberi manfaat ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat. Jika pertambangan justru merusak daya tarik utama kawasan ini, maka yang dikorbankan bukan hanya lingkungan, tetapi juga potensi ekonomi yang lestari.
Keputusan Presiden mencabut izin tambang menjadi pernyataan sikap penting. Tapi itu baru langkah awal. Yang lebih penting adalah konsistensi dalam keberpihakan ke depan. Karena sejarah membuktikan: di antara tarik-menarik kepentingan, keperpihakan para pemimpinlah yang menentukan arah pembangunan bangsa.
Discussion about this post