Tarakan – Kalimantan Utara, satu diantara sembilan provinsi prioritas rehabilitasi mangrove Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang memiliki ekosistem mangrove existing seluas 178.161 hektar, dan potensi habitat mangrove seluas 122.049 hektar. Mangrove memiliki peran besar dalam ekosistem pesisir, sebagai habitat dari berbagai biota laut, penahan abrasi hingga mampu menyimpan cadangan karbon 3 hingga 5 kali lebih besar dibandingkan hutan tropis.
Dalam pemulihan ekosistem mangrove, diperlukan kolaborasi antar lembaga dari tingkat pusat hingga daerah agar rehabilitasi mangrove berjalan secara berkelanjutan dan optimal. BRGM mengajak Penasehat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan pakar dari Universitas Borneo Tarakan berdiskusi dan melihat langsung proses kerja rehabilitasi mangrove yang melibatkan masyarakat di Desa Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah, Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara
Kondisi hutan mangrove di Kalimantan Utara, sebagian besar telah beralihfungsi menjadi tambak sebagai sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Pada awalnya masyarakat pesisir membuka hutan mangrove untuk dijadikan tambak karena memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan. Meskipun masih bersifat tradisional karena hanya mengandalkan nutrisi tersisa dari mangrove yang semula tumbuh di atasnya
Efransjah, Penasehat Senior Menteri Bidang Konservasi Alam dan Perubahan Iklim menyampaikan, “Ketika mula-mula hutan mangrove dibuka sebagai tambak ternyata hasilnya sangat memadai dan memuaskan tapi kemudian menurun, karena ketika mengkonversi hutan mangrove tidak terlalu mempertimbangkan faktor biofisik, mengingat ekosistem mangrove merupakan peralihan kritis antara ekosistem lautan dan daratan. Guna meningkatkan kembali hasil budidaya tambak, penanaman mangrove perlu dilakukan. Selain mengembalikan fungsi ekosistem mangrove, hasil produktivitas tambak juga meningkat,” ujar Efransjah.
Pemulihan lingkungan tidak hanya mengembalikan fungsi ekosistem mangrove, namun juga perlu mengedepankan kesejahteraan masyarakat. Teknik penanaman silvofishery menjadi kunci, penggabungan teknik budidaya ikan ataupun udang dengan pemulihan ekosistem mangrove pada kolam budidaya (tambak).
Hasil dari kegiatan silvofishery ini sangat dirasakan manfaatnya oleh Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Pabilung, salah satu kelompok masyarakat di Desa Salimbatu. Muhammad Jufri, Ketua Pokdakan Pabilung mengatakan, “Penanaman mangrove silvofishery ini sangat berpengaruh pada hasil panen ikan dan udang. Dari segi kualitas ikan dan udang berukuran besar, sehat serta berkembang biak dengan sempurna. Hasil tambak juga sangat diminati oleh masyarakat.”
Jufri mengaku, meskipun hasil penjualan ikan dan udang meningkat, namun dari segi benih untuk budidaya sangat sulit didapatkan. Bahkan untuk mendapatkan benih ikan harus membeli dari wilayah lain. Akibatnya, membutuhkan waktu yang lama serta kualitas benih yang kurang terjamin. Selain itu, Jufri menambahkan kelompoknya membutuhkan bimbingan khusus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pemasaran produk budidaya silvofishery ini agar masuk ke dalam kategori produk organik yang bernilai ekonomi tinggi.
Bagjya Irwansyah, perwakilan dari Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyampaikan, “Setelah melihat kondisi lapangan yang ada, di wilayah ini memiliki dua produksi tambak, yaitu udang dan kepiting. Saat ini, kami sedang merancang Modelling yang mengacu pada perlindungan lingkungan terutama kawasan tambak. Kedepannya, terkait ketersediaan benih, rantai pendistribusian benih sedang kami selesaikan. Kami akan melibatkan pemerintah daerah melalui Balai Benih Ikan,” ucap Bagjya.
Sinergitas dan kolaborasi antar Kementerian sangat perlu dilakukan mengingat, kegiatan silvofishery selain memulihkan lingkungan, juga meningkatkan pencaharian masyarakat melalui tambak. Agus Pambagio, Penasehat Senior Menteri LHK Bidang Kebijakan dan Pengendalian Implementasi Kebijakan Pengendalian Iklim mengatakan, “Menurut saya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BRGM, Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat kebijakan bersama untuk kesejahteraan masyarakat. Aturan inilah yang akan menyesuaikan, ketika dampak dari kebijakan itu buat masyarakat membaik, jadi jangan masyarakat mengikuti kebijakan. Kebijakan muncul muncul dan peraturan jadi peraturannya dibuat terbukti Ini meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Agus.
BRGM berupaya mempertahankan habitat mangrove melalui berbagai upaya yaitu memperkuat regulasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove, dan optimalisasi pengelolaan hutan untuk menjamin keberlangsungan mangrove di dalam kawasan hutan. Selain itu, pembangunan infrastruktur rehabilitasi mangrove, pembangunan hidrologi serta Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat, melalui Desa Mandiri Peduli Mangrove dan Sekolah Lapang Masyarakat Mangrove telah dilakukan.
Kepala BRGM, Hartono mengatakan “Rehabilitasi mangrove di pertambakan, memiliki dua fungsi utama. Pertama untuk menambah tutupan mangrove yang telah terbuka dan berfungsi. Kedua, menghindari pembukaan tambak-tambak baru dikarenakan mangrove yang ditumbuhkan mampu memenuhi kebutuhan keberlanjutan tambak yang sudah ada,” kata Hartono.
Hartono menekankan dalam kunjungan lapangan kali ini, harapannya sinergitas antar lembaga dapat terwujud, agar rehabilitasi mangrove serta budidaya menggunakan silvofishery dapat berjalan secara berkelanjutan. Peran dari pakar perguruan tinggi juga sangat penting, terlebih dalam menerapkan ilmunya untuk keberlangsungan ekosistem mangrove, dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu, kebijakan bisa segera dikerjakan dan olah bersama, agar masyarakat menerima dampak dari ekosistem mangrove dan penghasilannya bertambah.
Discussion about this post