Oleh: Martinus Nampur (Ketua Cabang GMNI Bulungan Periode 2019-2020, Anggota Panwascam Tanjung Selor)
Integritas pilihan dunia pekerjaan setiap orang bervariasi. Cita-cita dan keinginan kadang kala tidak seirama dengan ekspektasi. Hal itu mendorong setiap orang melakukan berbagai cara dan upaya untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama.
Keinginan dan cita-cita tersebut, kadang berbanding terbalik dengan kenyataan sesungguhnya. Kondisi ini memang terbilang lumrah terjadi. Sehingga langkah taktis yang ditempuh oleh individu ataupun kelompok bergaram.
Nahasnya, dengan mengorbankan integritas, menurunkan reputasi, bahkan rela melucuti seragam, hanya karena keinginan, kerakusan, karena ini merupakan sifat dasar manusia.
Bung Karno pernah mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diatas bintang-bintang,”. Bertajuk dengan keadaan masa kini, nampaknya keinginan yang begitu tinggi sebagian oknum memaknai itu dengan salah kaprah. Mereka yang haus akan kekuasaan, rela mengorbankan, bahkan menghalalkan segala cara untuk melangengkan keinginan tersebut.
Selain pada sifat dasar manusia yang rakus, sebenarnya, menurut hemat saya, keinginan tersebut berangkat dari rasa yang tidak pernah puas. Selebihnya, karena keinginan untuk mendominasi. Dengan alasan tuntutan bersama atau kelompok.
Karena pada dasarnya, kesuksesan itu tidak mesti menginjak kepala orang lain, supaya status sosial dan kedudukan itu tinggi.
Kita sebagai manusia yang dikenal sebagai makhluk sosial serta berkeyakinan pada Tuhannya masing-masing, pasti meyakini keberhasilan itu merupakan penjelmaan daripada usaha, kerja keras, ikhtiar dengan dilantunkan doa. Karena sesungguhnya manusia pada dasarnya, hanya sekadar merancang, dengan terus berikhtiar kelak kemudian tujuan itu pasti tercapai.
Ketika manusia senantiasa bersyukur, niscaya akan dikurangi dari sifat kerakusan dan kehausan untuk menggapai segala sesuatu yang berurusan dengan duniawi.
Padahal, apa yang dinikmati semasa hidup itu hanyalah hiasan semata. Manusia tidak akan pernah tahu, kapan kehidupannya berakhir. Namun dengan godaan yang begitu kuat, mata kita kadang tertutup pada kenyataan yang rasional. Kita terlalu jauh berambisi hingga lupa akan kata bersyukur.
Adakalanya, kita tidak perlu khawatir dengan derajat sosial setiap orang. Apalagi, terhadap mereka yang maunya benar sendiri. Selagi itu pada jalan yang benar, satu langkahpun jangan ada kata mundur. Jangan pernah takut sesama manusia, tetapi takutlah pada Tuhan dan Allahmu sesuai dengan ajaran yang dianut.
Jika dalam kehidupan sosial, dalam pergaulan keseharian kita menemukan orang yang terlalu egois pada gagasannya, tinggalkan dia. Sebaik-baiknya lawan bicaramu dia tetap orang lain. Seburuk apapun pribadimu, percayalah masa depan dan kariermu tidak ditentukan oleh orang lain.
Sehingga perlu kemudian percaya pada diri sendiri, jadilah orang yang mandiri dalam berfikir, jika ada gagasan yang menurutmu unggul kembangkan, dan tingkatkan. Karena seyogyanya, komentator itu hanya bertujuan untuk memanaskan arena pertandingan, pemainnya tetap pada keputusan dan pendirian pribadimu.
Dinamika yang tidak menemukan titik temu, merupakan hal lumrah terjadi dalam setiap perkumpulan, karena berbicara organisasi mestinya ada ide dan gagasan yang mesti dipertimbangkan bersama, keputusan tidak berlandaskan karena sifat antipati pada lawan bicara. Karena jika itu terjadi, diperlukan seorang pemimpin yang bijaksana, bukan hanya sekadar pandai beretorika. (*)
Discussion about this post