KRAYAN TENGAH – Sempat sehari tertunda kedatangan peserta Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) I karena terlambatnya penerbangan dari Balikpapan ke Malinau, akhirnya Jumat (28/10) para pegiat literasi nasional bisa terbang dari Malinau dan tiba di Batu Ruyud, Fe’ Milau, Krayan Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara).
Sebanyak 11 pegiat literasi yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Solo, Bogor, Tanggerang, Serang dan Pontianak terharu serta merasa bangga karena disambut begitu hangat dengan tradisi adat Dayak Lengilu, yaitu tarian Ulung Da’a oleh masyarakat Krayan Tengah.
Edrida Pulungan, salah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) terbaik Indonesia peraih The Feature Leader Terbaik 2022 dari tanah Batak, Sumatera Utara (Sumut), yang hadir sebagai peserta mengaku sangat terharu disambut dengan tradisi adat, dipakaikan baju dan dikalungkan kalung khas Dayak Lengilu sebagai bukti persaudaraan.
“Terima kasih banyak. Saya jadi terharu. Hari ini saya merasa senang memakai baju ini saya terharu tadi mau nangis tapi enggak bisa karena bahagia,” ungkap Edrida di hadapan para tokoh-tokoh adat, masyarakat dan pemuda-pemudi.
Edrida juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yansen TP, M.Si yang merupakan senior, panutan dan pimpinan karena sudah memberi kesempatan para pegiat literasi hadir mengikuti BRWC yang pertama diselenggarakan dan bertempat di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Wanita berhijab ini juga mengucapkan terima kasih mendalam kepada para penggagas BRWC yang merupakan empat serangkai, Yansen TP, Dodi Mawardi, Pepih Nugraha dan Masri Sareb Putra.
Ia mengaku bahagia mengikuti kegiatan literasi di Batu Ruyud yang dilaksanakan 27 Oktober – 3 November 2022. Ia dan peserta lainnya juga sudah meminum air dan makan makanan khas Krayan serta telah mendapat sambutan yang luar biasa dari semua masyarakat.
“Semoga suatu saat kita menuliskan peradaban di sini. Saya sangat yakin dan percaya bahwa literasi itu dibangun dari orang-orang yang percaya tentang masa depan bangsa Indonesia dan peradaban itu sudah dicatat di sini,” ujarnya pada kegiatan yang bertemakan ‘Menjelajahi Misteri Perbatasan’ ini.
Soal tradisi penyambutan tamu, Tirusel STP, SE, M.Si, Panglima Ulung Da’a menjelaskan bahwa penyambutan dengan tarian Ulung Da’a dipakai untuk menyambut tamu-tamu penting untuk zaman sekarang. Tapi zaman dahulu, tarian Ulung Da’a dalam rangka menyambut para pasukan perang di zaman ngayau saat pulang dari medan perang.
“Setelah mereka tiba di kampung, para pasukan perang Suku Dayak Lengilu di Sungai Krayan ini mereka disambut dengan tarian seperti itu. Namun di saat ini dengan bergesernya waktu tradisi ngayau tidak ada lagi,” terang Tirusel.
Jadi, lanjutnya, sekarang setiap tamu penting yang datang ke kampung Suku Dayak Lengilu, Sungai Krayan ini, pasti di sambut layaknya seorang yang pulang dari medan perang membawa kemenangan bagi manusia Dayak Lengilu yang ada di Sungai Krayan.
Kemudian, tradisi pemimpin rombongan memotong palang pintu terbuat dari rotan juga mempunyai arti yang mendalam. Sebab sebelum siapapun yang masuk ke kampung Dayak Lengilu di Sungai Krayan harus melewati aturan dan ketentuan yang berlaku di kampung itu sendiri.
“Nah jadi harus taat, patuh dan tunduk kepada aturan adat yang berlaku di seluruh wilayah masyarakat adat yang ada di Sungai Krayan selama dia berada di sini,” bebernya.
Sedangkan kalung yang dikalungkan kepada para tamu, itu sebagai tanda persahabatan dan persaudaraan dari masyarakat Dayak Lengilu. Dengan kalung itu juga bukti masyarakat melindungi para tamu.
“Seperti kalung yang dikalungkan di leher kemarin, itu sebagai pertanda ada persahabatan, perlindungan, keamanan dan kesejahteraan. Tamu-tamu yang datang di kampung masyarakat adat Dayak Lengilu ini pasti aman, nyaman, damai dan dilindungi oleh seluruh masyarakat adat yang ada di Sungai Krayan,” tegas Panglima Ulung Da’a. (*)
Discussion about this post