Oleh: Subono Samsudi
Di masa kepemimpinan Wali Kota dr. Jusuf SK, Tarakan pernah mencuri perhatian nasional sebagai kota pelopor ekowisata mangrove. Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB), yang berada tepat di tengah kota, menjadi magnet wisata sekaligus laboratorium hidup bagi pelajar, mahasiswa, peneliti, hingga wisatawan mancanegara.Tak perlu berkendara jauh ke pinggiran-cukup berjalan kaki beberapa menit dari hotel, pengunjung sudah bisa menikmati keheningan hutan mangrove dan suara bekantan yang bersahutan.
KKMB bukan sekadar hutan bakau biasa. Kawasan ini dilengkapi jalur jembatan kayu ulin dan jembatan beton di area perluasan, yang memungkinkan pengunjung menjelajah tanpa harus melepas sepatu. Di sepanjang lintasan, tersedia menara pantau, gazebo edukasi, dan papan informasi tentang ekosistem mangrove. Dulu, tempat ini begitu hidup: TK hingga mahasiswa datang bergelombang untuk belajar langsung tentang pentingnya hutan mangrove, bekantan, dan keseimbangan lingkungan pesisir.
Namun sayang, pesona KKMB kini memudar. Kondisinya menurun drastis. Fasilitas yang dulu menjadi daya tarik edukatif mulai rusak dan tidak terawat. Jalur tracking banyak yang lapuk, gazebo dibiarkan kosong, dan papan informasi mengelupas. Kegiatan edukasi pun hampir tak terdengar lagi. Tak banyak pelajar atau pengunjung datang seperti dulu. KKMB,yang dulunya ramai dan hidup, kini senyap dan terlupakan.
Salah satu penyebab kemunduran ini adalah perubahan tata kelola kawasan,khususnya pasca terbitnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Kehutanan yang mengatur ulang kewenangan pengelolaan hutan. Di era Gubernur Irianto Lambrie,pengelolaan sebagian KKMB diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.Langkah ini legal, mengikuti mandat perubahan UU. Namun sayangnya, alih kelola tersebut tidak diikuti dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah provinsi dan kota. Akibatnya,semangat pengelolaan kolektif yang dulu dibangun perlahan memudar.
Ironisnya, ketika kawasan ini mulai terbengkalai, justru muncul minat dari pihak lain.Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui unit-unit teknis seperti BPDAS dan bahkan BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) menunjukkan ketertarikan untuk ikut mendukung pengelolaan KKMB. BRGM, sebagai lembaga khusus yang bertugas mempercepat rehabilitasi mangrove di Indonesia, menjadikan Kalimantan Utara sebagai salah satu provinsi prioritas. Ini adalah peluang emas yang tidak boleh diabaikan.
Di tengah degradasi banyak kawasan konservasi di Indonesia, KKMB masih punya peluang untuk bangkit, bahkan menjadi model nasional pengelolaan ekowisata mangrove terpadu.Tapi kuncinya satu: kolaborasi.
Sudah saatnya Pemerintah Kota Tarakan,Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, dan KLHK duduk bersama. Perlu dibentuk kelembagaan bersama-baik dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), unit pengelola terpadu, atau BLUD (Badan Layanan Umum Daerah)yang merepresentasikan seluruh pihak. Kolaborasi ini harus berbasis pada semangat menghidupkan kembali fungsi ekowisata, edukasi, dan konservasi kawasan.
Tak kalah penting adalah branding ulang KKMB. Nama yang lebih menarik, promosi yang lebih masif di media sosial, dan keterlibatan komunitas muda akan membuat kawasan ini hidup kembali. Kegiatan edukatif bisa dihidupkan lewat program kunjungan sekolah,pelatihan konservasi bagi mahasiswa, hingga paket wisata edukasi untuk keluarga.
Langkah-langkah kecil namun terukur ini akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap KKMB. Dengan keterlibatan semua pihak, bukan tidak mungkin kawasan ini kembali menjadi ikon ekowisata Kalimantan Utara, bahkan Indonesia.
Jangan biarkan KKMB tinggal nama. Mari kita bangkitkan kembali kawasan yang pernah membuat Tarakan menjadi pelopor kota hijau di Indonesia bagian utara. (*)
Penulis merupakan praktisi lingkungan hidup,, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan SDA Kota Tarakan. Lulusan Teknik Geologi ITB dan Magister Studi Pembangunan ITB, pernah bertugas di KLH pusat dan aktif mengawal isu ekowisata dan tambang berkelanjutan. Saat ini menjabat sebagai Ketua Komunitas Mantap Indonesia, Tarakan.
Discussion about this post