TARAKAN – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) datang ke Tarakan dalam upaya penyelesaian persoalan tiga siswa SDN 051 Juata Permai yang tidak naik kelas tiga tahun berturut-turut.
Persoalan ini menjadi viral setelah KPAI menerima laporan kasus tersebut. Diduga karena pihak sekolah melakukan intoleransi dan diskriminasi keyakinan terhadap kepercayaan orangtua mereka.
Untuk itu, lembaga pemerintah yang menangani persoalan anak ini melakukan klarifikasi terhadap laporan tersebut, dengan mengcroscek kepada pihak-pihak terkait di Tarakan.
Dalam pertemuan di SDN 051 Juata Permai, Selasa (23/11/2021), hadir Komisioner KPAI Retno Listyowati dan Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kaltara Jarwoko.
Sementara dari Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan hadir Kepala Dinas Pendidikan Tajuddin Tuwo, Kepala Pembedayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Mariyam, Kepala Bagian Hukum Setda Tarakan Sopian, serta sejumlah guru sekolah.
Usai pertemuan, kepada awak media, Komisioner KPAI Retno Listyowati mengapresiasi hasil yang dicapai dalam pertemuan, meskipun belum final. Ia menilai sudah ada itikad baik dari Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan melalui Dinas Pendidikan (Disdik) untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Kami KPAI secara umum mengapresiasi kemajuan dari keputusan hari ini (kemarin, red). Meskipun mungkin baru besok (hari ini, red) kita finalkan. Tapi inikan sudah mengerucut,” ungkap Retno Sulistyo.
Menurut wanita berhijab ini, kasus tersebut memang masih berperkara di pengadilan, di mana kuasa hukum penggugat kembali melayangkan gugatan pada Oktober 2021. Namun bagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi maupun KPAI, kepentingan peserta didik harus diutamakan.
Karena itu, kedatangan pihaknya ke Tarakan untuk mancarikan jalan keluar terbaik bagi ketiga siswa tersebut, dengan duduk satu meja membahas persoalan itu.
Dalam pertemuan itu, menurut Retno Listyowati, sempat dibicarakan langkah ke depan. Apakah memungkinkan praktik pendidikan agamanya dilakukan di tempat ibadah komunitas mereka. Sedangkan pengetahuan dan sikapnya diserahkan kepada guru sekolah. Namun, hal itu akan dibicarakan lebih lanjut pada pertemuan hari ini.
“Sempat dibicarakan ke depan apakah nanti praktiknya pada pengetahuannya pada si guru yang di sini (sekolah), kemudian sikapnya juga, tapi praktik apakah memungkinkan untuk dilakukan di tempat ibadah si anak ini. Nantikan itu akan dicarakan besok,” ujar Retno Sulistyowati kepada awak media, ditemui usai pertemuan, Selasa (23/11/2021).
Sepengetahuannya, ada ketentuan yang mengatur terkait hal itu. Apabila tidak ada guru yang seagama dengan anak, maka keputusannya diserahkan kepada tempat ibadah atau komunitas agamanya. Akan tetapi, pihaknya masih akan mendiskusikan hal ini kepada Mendikbudristek sekembali ke Jakarta, apakah bisa memberikan hal itu.
Kepala LPMP Kaltara Jarwoko mengakui belum ada aturan yang mengatur tentang itu, meskipun Dirjen terkait secara lisan melalui pesan WhatsApp (WA) memberikan solusi agar pembelajaran agama yang tidak terakomodir diserahkan ke komunitas mereka.
“Pak Dirjen secara lisan melalui WA itu memang memberi solusi pembelajaran agama yang tidak terakomodir ya serahkan saja kepada komunitas, tapikan ini baru WA, belum jadi aturan,” tuturnya.
Diakuinya, dalam konteks pendidikan, negara baru menyediakan pendidikan bagi enam agama. Adapun yang belum dapat dilayani, ia belum mendapat gambaran apakah memungkinkan untuk dilayani.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Tarakan Tajuddin Tuwo mengharapkan persoalan ini dapat disikapi dengan baik dan dilakukan pendekatan-pendekatan agar bisa menyelesaikan persoalan.
“Masalah ini disikapi dengan baik dan dilakukan juga pendekatan-pendekatan agar bisa menyelesaikan persoalan itu,” harap Tajuddin Tuwo.
Dalam persoalan ini mantan Kepala Disperindagkop Tarakan ini menilai tidak adanya titik terang penyelesaian persoalan ini karena tidak pernah bertemu langsung antara kuasa hukum dan Dinas Pendidikan Tarakan. Jika hal itu terpenuhi, ia menjamin tidak ada masalah.
Terlepas hal itu, Tajuddin Tuwo membantah jika kasus ini dianggap kasus intoleransi. Karena pihaknya telah berupaya mencarikan jalan keluar terbaik.
“Saya kira intoleransinya di mana? Itu perlu dipertanyakan. Karena kalau intoleran, artinya kita tidak berkomunikasi, tidak mencarikan jalan keluar dari persoalan ini. Ini kita mau menyelesaikan persoalan itu,” tegasnya. (jkr)
Discussion about this post